Rabu, 30 Maret 2011

Renungan Pagi "Biarkan Kuncup Mekar Jadi Bunga"

Ternyata obrolan kita tentang cinta belum selesai. Saya telah
menyatakan sebelumnya betapa penting peranan kata itu dalam
mengekspresikan kata cinta. Tapi itu bukan satu-satunya bentuk ekspresi
cinta. Cinta merupakan sebentuk emosi manusiawi.
Karena itu ia bersifat
fluktuatif naik turun mengikuti semua anasir di dalam dan
di luar di diri manusia yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya saya juga
mengatakan, mempertahankan dan merawat rasa cinta sesungguhnya jauh
lebih sulit dari sekedar menumbuhkannya. Jadi obrolan kita belum
selesai. Walaupun begitu, saya juga tidak merasakan adanya urgensi untuk
menjawab pertanyaan ini: apa itu cinta? Itu terlalu filosofis. Saya
lebih suka menjawab pertanyaan ini: Bagaimana seharusnya anda mencintai? Pertanyaan ini melekat erat dalam kehidupan individu kita.
Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman
itu adalah kebenaran. Apa yang dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah
kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari
memberinya gelora kehidupan. Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika
yang bergulir secara sadar di atas latar wadah perasaan kita.
Maka begitulah seharusnya anda mencintai; menyejukkan, menenangkan,
namun juga menggelorakan
. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini: menghidupkan. Anda mungkin dekat dengan peristiwa ini; bagaimana
istri anda melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, dan
menumbuhkannya, mengembangkannya serta menjaganya. Ia dengan tulus
berusaha memberinya kehidupan.
Bila anda ingin mencintai dengan kuat, maka anda harus mampu
memperhatikan dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu
berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian
merawatnya dan menjaganya dengan sabar.
Itulah rangkaian kerja besar para
pecinta; pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan.
Apakah anda telah mengenal isteri anda dengan seksama? Apakah anda mengetahui dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya?
Apakah anda mengenal kecenderungan-kecenderungannya? Apakah anda mengenal pola-pola ungkapannya; melalui pemaknaan khusus
dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksinya, melalui
isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya?
Apakah anda dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah anda dapat melihat gelombang-gelombang mimpi-mimpinya, harapan-harapannya ?
Sekarang perhatikanlah bagaimana tingkat pengenalan Rosululloh saw
terhadap istrinya, Aisyah. Suatu waktu beliau berkata, ”Wahai Aisyah,
aku tahu kapan saatnya kamu ridha dan kapan saatnya kamu marah padaku.
Jika kamu ridha, maka kamu akan memanggilku dengan sebutan: Ya
Rosulullah! tapi jika kamu marah padaku, kamu akan memanggilku dengan
sebutan ” Ya Muhammad”.
Apakah beda antara Rosululloh dan Muhammad kalau toh obyeknya itu-itu saja? Tapi Aisyah telah memberikan pemaknaan khusus ketika ia menggunakan kata yang satu pada situasi jiwa yang lain. Pengenalan yang baik harus disertai penerimaan yang utuh. Anda harus mampu menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dalam proses penerimaan total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau “obsesi” yang berlebihan terhadap fisik.
Anda tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam
kecuali jika anda dapat menerima apa adanya. Dan ini tidak selalu
berarti bahwa anda menyukai kekurangan dan kelemahannya.
Ini lebih
berarti bahwa kelemahan dan kekurangan bukanlah kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya. Apakah yang ia harap dari bayi kecil itu ketika ia merawatnya, menjaganya, dan menumbuhkannya? Apakah ia yakin bahwa kelak anak itu akan membalas
kebaikannya? Tidak. Semua yg ada dalam jiwanya adalah keyakinan bahwa
bayi ini punya peluang untuk berubah dan berkembang. Dan karenanya ia
menyimpan harapan besar dalam hatinya bahwa kelak hari-hari jugalah yg
akan menjadikan segalanya lebih baik. Penerimaan positif itulah yang
mengantar kita pada kerja mencintai selanjutnya; pengembangan.
Pada mulanya seorang wanita adalah kuncup yang tertutup. Ketika ia
memasuki rumah anda, memasuki wilayah kekuasaan anda, menjadi istri
anda, menjadi ibu anak-anak anda; Andalah yang bertugas membuka kelopak
kuncup itu, meniupnya perlahan, agar ia mekar menjadi bunga. Andalah yang
harus menyirami bunga itu dengan air kebaikan, membuka semua pintu hati
anda baginya, agar ia dapat menikmati cahaya matahari yang akan
memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan kebaikanlah bunga-bunga cinta
bersemi.
Dan ungkapan ”Aku Cinta Kamu” boleh jadi akan kehilangan makna ketika
ia dikelilingi perlakuan yang tidak simpatik dan mengembangkan. Apa yang
harus anda berikan kepada istri anda adalah peluang untuk berkembang,
keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa superioritas
anda terganggu. Ini tidak berarti anda harus memberi semua yang ia
senangi, tapi berikanlah apa yang ia butuhkan.
Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dalam keseimbangan.
Dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada
perkembangan yang mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya
terkadang anda perlu memotong sejumlah (dahan?) yang sudah kepanjangan agar tetap terlihat serasi dan harmoni. Hidup adalah simponi yang kita mainkan dengan indah.
Maka, duduklah sejenak bersama dengan istri anda, tatap matanya
lamat-lamat, dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam
bertanyalah pada diri sendiri: Apakah ia telah menjadi lebih baik sejak hidup bersama dengan anda? Mungkinkah suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya: DAN NAFAS CINTANYA MENIUP KUNCUPKU…
MAKA IA MEKAR MENJADI BUNGA… Wallohu a’lam bish showab. 
Anis Matta