Kebijaksanaan Ilahi adalah takdir dan suratan nasib yang membuat kita saling mencintai satu sama lain.
Karena takdir itulah setiap bagian dari dunia ini bertemu dengan pasangannya.
Dalam pandangan orang-orang bijak, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan; bumi memupuk apa yang telah dijatuhkan oleh langit.
Jika bumi kekurangan panas maka langit mengirimkan panas kepadanya; jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit memulihkannya.
Langit memayungi bumi layaknya seorang suami yang menafkahi istrinya; dan bumi pun sibuk dengan urusan rumah tangga; ia melahirkan dan menyusui segala yang telah ia lahirkan.
Erich Fromm mengutip syair Jalaluddin Rumi itu dalam bukunya, The Art of Loving. Cinta, kata Fromm, adalah kebutuhan eksistensial manusia untuk mengatasi masalah “keterpisahannya” sekaligus kerinduannya akan kesatuan. Tapi dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, cinta bukan hanya kebutuhan eksistensial, tapi juga berbaur dengan kebutuhan biologis: hasrat kesatuan dari kutub-kutub maskulin dan feminim. Karena dalam diri laki-laki dan perempuan terkandung prinsip menerima dan penetrasi, baik atas hal material maupun spiritual, maka mereka menemukan kesatuan dalam dirinya hanya dalam kesatuan atas polaritas kelelakian dan keperempuanan. Polaritas inilah, kata Formm, yang menjadi dasar dari segala kreativitas.
Tapi saat hubungan murni ini terganggu oleh tirani sosial yang melahirkan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial, tiba-tiba kaum feminis membawa bias ini: harus ada perlawanan untuk merebut kesetaraan itu. Itu tafsir paling sentimentil atas fenomena kezaliman dalam masyarakat. Kesetaraan itu mungkin saja tercapai. Tapi korbannya juga sadis: lubang keterpisahan itu makin menganga lebar, dan hidup berujung dalam kesendirian dan kesunyian menyiksa.
Cinta mengajarkan kita untuk memperoleh hak-hak kita dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada orang lain. Itulah yang mempertemukan dua kutub jiwa. Pertemuan itulah yang membuat kita genap menggenapi, dan saling menyempurnakan karya kehidupan. Dan persoalan kesetaraan menjadi tidak relevan di tengah hidup yang bergerak kreatif begitu menuju kesatuan dan kesempurnaan. Simaklah senandung Rumi kembali:
Tak ubahnya langit dan bumi dikaruniai kecerdasan; karena mereka melaksanakan pekerjaan makhluk yang memiliki kecerdasan.
Andaikan pasangan ini tidak mengecap kenikmatan; mengapa mereka bersanding seperti sepasang kekasih ?
Sebagimana Tuhan memberikan hasrat pada laki-laki dan perempuan sehingga menjadi terpelihara oleh kesatuan mereka,
Tuhan juga menanamkan ke semua eksistensi, hasrat untuk mencari belahannya.
Masing-masing saling mencintai untuk menyempurnakan karya bersama mereka. Anis Matta, Lc