Sabtu, 02 Juli 2011

Usia 14 Disebut Fase Paling Berbahaya


Masa remaja sering disebut dengan masa yang penuh ketidakpastian sekaligus masa pencarian jati diri. Sayangnya, tidak semua usaha tersebut dilakukan dengan cara yang positif. Itulah sebabnya peneliti dari Inggris menyebut masa itu fase kritis alias berbahasa.

Hasil riset yang digagas University College London (UCL) menyebutkan, terutama remaja usia 14 tahun dalam fase paling berbahaya ketika individu menginjak usia remaja.


Riset itu mengungkapkan diusia 14 tahun, sebagian remaja mulai gemar mengkonsumsi minuman keras, obat-obatan terlarang dan berprilaku seks tak sehat. Kecenderung macam itu dinilai peneliti lantaran kondisi remaja saat itu cenderung senang mengambil resiko.


Riset yang melibatkan 86 remaja dan laki-laki dewasa dengan rentang usia 9 hingga 35 tahun dan gemar bermain game komputer ini juga mengungkapkan remaja diusia 14 tahun, bukanlah seperti kebanyakan anak muda lain.


Mereka begitu senang mengabaikan pro dan kontra atas tindakan yang mereka lakukan, dan yang terpenting buat mereka adalah mengambil kesempatan untuk memperoleh kesenangan berlebih ketimbang mereka bermain hal-hal yang aman.


Pakar Syaraf dari University College London (UCL), Dr Stephanie Burnett mengatakan alasan utama remaja mengambil resiko tidaklah disertai pertimbangan konsekuensi atas apa yang dilakukan.”Itu sebabnya, mereka cenderung memilih resiko tersebut,” tukasnya seperti dikutip dari Telegraph.co.uk.


Ia berpendapat riset ini merupakan bukti dari hasil laboratorium yang menyatakan remaja tanggung senang mengambil resiko. “Kita satu langkah didepan untuk mengetahui mengapa remaja terlibat dalam prilaku berbahaya seperti mengkonsumsi obat-obatan terlarang serta prilaku seks tak sehat,” ujarnya.


Sebelumnya, masing-masing relawan diminta untuk meainkan satu buah game komputer. Selama berjalannya permainan itu, mereka diharuskan membuat keputusan untuk memenangkan poin demi poin. Setelah itu, satu peneliti akan menganalisa respon emosional masing-masing dengan merekam tingkat kepuasan atau ketidakpuasaan yang dialami relawan.


Hasilnya, mereka menemukan adanya pertambahan kesenangan ketika meraka merasa menang atau lolos dari kondisi sulit. Terkait hal itu, Dr Burnett berpendapat dalam game yang dimainkan, setiap relawan diberikan kesempatan kecil untuk memenangkan banyak uang atau opsi aman berupa memenangkan sedikit uang.” Kami menemukan, remaja begitu siap mengambil risiko sekalipun mereka tidak peduli dengan konseskuensinya,” ujarnya.


Burnett menambahkan, pada usia remaja, otak mereka tengah berkembang. Secara otomatis, dopamin selaku hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus membantu kita merasakan kesenangan ataupun sebaliknya. “Remaja begitu senang berteriak di taman dan inilah langkah awal untuk memahami mengapa,”ungkapnya.


Sebab itu, ia menyarankan agar orang tua harus mendidik dengan cara yang berbeda. Termasuk cara untuk mencegah remaja terjerumus dari bahaya mengkonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang serta aktivitas yang merusak. “Menceritakan kepada mereka sesuatu yang berbahaya dapat memberi harapan mereka untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan dan sekarang kita mengetahui mengapa harus demikian,” tambahnya.


Sementara itu, wakil ketua tim peneliti, Dr Sarah-Jayne Blakemore, yang juga pakar syaraf dari UCL berpendapat tindak tanduk dari remaja menandakan ledakan dari aktivitas berbahaya. Mulai dari berkendara secara ugal-ugalan, prilaku seks tak sehat dan mulai bereksperimen dengan alkohol, pola makan tak teratur serta malas berolahraga.


“Semua hal itu berkontribusi terhadap pembentukan sebuah pradoks dari kesehatan remaja, dimana puncak dari paradoks itu adalah tingginya angka kematian dan minimnya tingkat kesehatan remaja. Itulah mengapa, remaja lebih memilih mengambil resiko dimana harusnya terdapat intervensi penting oleh layanan kesehatan dan keluarga, ” tutupnya.