Senin, 08 Agustus 2011

Kamogawa, Maiko, & Tradisi Yang Tak Pernah Luntur

TAK sulit menemukan tempat makam malam yang nikmat di Kyoto. Rumah makan bertebaran hampir di seluruh sudut kota.
Di hotel-hotel berbintang, restoran pun menyajikan makanan khas Jepang yang begitu mengesankan. Namun bagi saya, makan malam di tepi sungai Kamo (Kamogawa) adalah yang terbaik.

 
Bersama rombongan Sharp Indonesia, malam itu, Kamis (10/6) kami datang ke Restoran Ganko di jantung kota Kyoto. Sebagaimana layaknya rata-rata bangunan lain di kota seluas 827,90 km2 ini, Ganko juga berdesain minimalis.

Bukan sekadar menu masakan atau panorama tepi Kamogawa yang membuat langkah kaki menuju tempat makan yang selalu ramai. Alasan besarnya adalah maiko. Ya, restoran ini memang menyajikan pertunjukan tari tradisional Jepang.


Maiko adalah istilah untuk penari belia (berusia sekitar 15–20 tahun). Ketika dewasa dia disebut geiko. Inilah sisi menarik lain dari Kyoto. Hanya di tempat ini mereka menyebut penari tradisional itu sebagai geiko.


Di wilayah lain di Jepang, penari ini disebut geisha. Lagu ”kunang-kunang” dari sebuah tape recorder lawas mengiringi gerakan maiko. Wajahnya yang berlamur bedak nyaris tanpa ekspresi. Tatapan matanya tajam. Pelan dia mengikuti iringan harmoni itu. Sesekali duduk, berdiri, memutar badan, kadang menyapukan helai kimononya.


Alunan musik yang terasa cempreng itu akhirnya berhenti, tepat ketika maiko duduk. Tepuk tangan dari pengunjung restoran menggema. Barulah ketika itu sang maiko menunjukkan ekspresi aslinya.


Senyum manis tersungging dari bibirnya yang bergincu tebal. Ketika pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari pengunjung restoran, dia menjawab dengan ramah. Fukuzusu, maiko yang seorang lulusan SMP, akhirnya menemani kami makan malam itu.


Mengapa memilih menjadi maiko (geisha kecil)? Bukankah stigma negatif selalu melekat untuk pekerjaan itu? Fukuzusu tersenyum kecil.


”Masih banyak orang menganggap geisha berkonotasi negatif. Sebenarnya tidak seperti itu,” ucap dia.


Bocah asal Prefektur Yamaguchi ini menjelaskan, maiko ataupun geiko adalah pelestari kebudayaan Jepang. Cap geisha sebagai istri simpanan para pejabat, kata dia, terjadi pada masa lalu.


Fukuzusu mengaku sengaja mengambil risiko tidak meneruskan bersekolah dan menjadi maiko. Mengapa?


”Awalnya saya pernah melihat pertunjukan maiko. Saya lantas tertarik dan akhirnya benar-benar menjadi maiko,” ucapnya.


Fukuzusu mengaku menjadi penari penghibur di rumah makan bukan pekerjaan nista. ”Ini adalah warisan kebudayaan nenek moyang,” ucapnya.


Fukuzusu tidak berlebihan. Di Kyoto sendiri, saat ini hanya terdapat 100 orang geiko (geisha).


Dari jumlah itu, hanya 10 orang yang benar-benar asli Kyoto. Tak mudah menjadi maiko. Fukuzusu membutuhkan waktu hampir satu tahun di asrama sebelum diperbolehkan tampil di depan banyak orang. Selama setahun di asrama khusus, dia dan juga bocah-bocah lain diajari kehidupan tentang maiko.


”Kami harus bisa menari, menyanyi, juga mengenal kebudayaan dan tradisi,” ujarnya.


Segala urusan hidup di asrama ini ditanggung sepenuhnya oleh pengelola. Kelak ketika dewasa dan menjadi geiko, mereka harus keluar dari asrama dan menanggung hidupnya sendiri.


Menurut Ayako Shimizu, salah satu pegawai restoran menjelaskan, maiko atau geiko yang memutuskan menikah, berakhir pula perannya sebagai penari.


”Dia menjadi wanita biasa,” katanya.


Fukuzusu tersenyum. Obrolan mengalir terasa begitu singkat. Sashimi lengkap dengan wasabi yang membuat lidah bergoyang, tempura, bento, dan ocha di meja makan telah tandas. Malam makin larut. Seteguk sake mengakhiri makan malam di tepi sungai Kamo yang indah itu