Kamis, 11 Agustus 2011

Perbedaan Menara Eiffel Dengan Monas

 
ANGIN dingin musim semi bulan lalu tidak menghalangi ratusan orang antre dan bayar tiket sekitar Rp 150.000 hanya untuk naik lift ke platform kedua Menara Eiffel di Paris, lalu menikmati pemandangan bagus sekeliling ibu kota Perancis, tentu sambil potret-potret. Setelah injak bumi lagi di bawah, biasanya orang-orang pun tersenyum dan berbisik-bisik dalam hatinya, “Untung sudah ke Eiffel, jadi sudah sah ke Paris!”

PADAHAL, sebelumnya, beberapa peserta dari serombongan turis Indonesia dari Astra CMG bawaan Berlian Wisata Jakarta sempat melontarkan gurauan, antara lain, “Olala, untung lift Menara Eiffel kagak macet, kayak lift di Monas Jakarta.”


Soal lift macet kemudian menjadi pembicaraan juga. Eddy Efendy, pemimpin rombongan itu, menganggap pengelola menara setinggi 300 meter atau 320,75 meter termasuk antena itu cukup telaten merawat menara konstruksi besi baja seberat 7.000 ton yang diresmikan sejak 31 Maret 1889.


“Pertengahan tahun 1990-an Eiffel pernah ditutup beberapa hari karena pemogokan karyawannya. Sekarang ini turis hanya antre dan masuk dari kaki barat. Pintu masuk timur ditutup,” kata Eddy yang menyebut angka sekitar 10 juta turis per tahun pernah ke Eiffel.


Menara Eiffel, yang memakai nama Gustave Eiffel (1832-1923) itu, dirancang di saat negara-negara adikuasa di abad ke-19 itu lagi gandrung berlomba bikin pameran kemajuan industrinya. Perancis pun ingin merayakan 100 tahun Revolusi Perancis pada 1889, sekalian meneruskan gagasan pembangunan menara 1.000 kaki atau kira-kira 304,8 meter dari Richard Trevithick tahun 1832.


Dari sayembara untuk mencari lambang pameran itu, terpilih rancangan Gustave Eiffel yang memilih konstruksi dengan bahan besi cor, bukan bangunan baja yang menurutnya terlalu ringan, juga tidak mampu menahan terpaan angin.


Bangunan megah itu pun jadi, malah bertahan sebagai menara besi tertinggi di Eropa sampai tahun 1930. Meski hanya dibangun selama 18 bulan, konstruksi yang terdiri dari 10.000-an potong besi cor sambungan yang dikerjakan 230 pekerja itu hanya minta korban satu jiwa. Sedangkan pembantu Eiffel ada 50 insinyur ikut merancang sekitar 5.300 gambar bagian menara, untuk membuat sekitar 18.000 potong besi cor penopang yang banyak berbeda-beda bentuknya.


Seluruh bagian menara yang hanya berayun sekitar 10 sentimeter, meski diterpa angin 250 kilometer per jam itu, dibangun dengan dirakit atau prefab. Bagian besi yang paling berat sekitar 3.000 kilogram itu sebagian menyetel besi di daratan sebagian lagi dibor di tempatnya, agar cocok satu sama lain. Makanya tidaklah ajaib kalau seluruh lubang bor untuk mur baut itu sampai tujuh juta lubang!


MONAS atau Monumen Nasional amatlah membanggakan. Selain dipakai sebagai lambang Pemprov DKI Jakarta, monumen tegakan pualam 132 meter termasuk pucuk emasnya yang berbentuk lidah api itu konon berbahan emas seberat 35 kilogram. Tugu, yang katanya terinspirasi paduan lingga-yoni sebagai lambang kesuburan, serta merta menjadi lambang DKI Jakarta yang “kagak liat Monas, belon liat Jakarta”.


Monumen rancangan Ir F Silaban yang resmi dibangun 17 Agustus 1961, di masa puncak kemegahan pemerintahan Presiden Soekarno, baru terbuka untuk umum pada 12 Juli 1975. Mulai saat itu Monas menjadi bahan gosip pariwisata, serta sasaran kunjungan segala macam orang gede dan kecil. Taman sekitaran Monas pun mendapat sentuhan biar asri, serta dibuatkan juga “air mancur joget”. Pokoknya Monas menjadi ikon khas Jakarta.


Soal perawatan dan pengelolaannya tentu saja ada lapisan instansi pengurusnya. Sebab, Monas yang tegak sendirian di sumbu tengahnya lapangan terbuka besar sejak zaman Pak Harto, Pak BJ Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, sampai mungkin zamannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini tetap menjadi lambang kebanggaan bangsa.


Yang pasti Monas yang persis di “pekarangan” depannya Balaikota, sejak zaman Bang Ali seakan-akan sudah menjadi simbol DKI Jakarta. Bahkan Gubernur Sutiyoso, yang memegang kendali DKI Jakarta semasa “lima Presiden RI” nyaris setiap malam upacara peringatan Ultah DKI Jakarta, boleh dikata memakai pelataran Monas sebagai arena upacaranya.


Sayang seribu kali sayang, Bang Yos yang sayang Monas itu rupanya tidak diimbangi kinerja bawahannya. Sebab Monas pernah bikin kaget, bikin malu, dan bikin syok. Misalnya pada 23 Maret 2004 lalu suplai listrik PLN tiba-tiba angot dan mati.


Alhasil, lift pun macet-cet. Puluhan anak-anak sekolah terjebak di pucuk Monas. Mereka yang panik dan ketakutan itu harus dievakuasi turun dengan bantuan petugas dan polisi, melewati lorong tangga darurat di ruang gelap. Wuuih, skandal itu pasti bikin malu. Eh belum sempat diberesin seberes-beresnya, pada hari Minggu 2 Mei 2004 lift Monas macet-cet-cet lagi.


Ratusan orang terbengong-bengong dan ngeper karena harus turun tangga karena lift yang cuma mampu angkut naik turun 12 orang dewasa itu macet tulen.


Usut punya usut, ternyata lift merek Hitachi itu eks China, bukan Hitachi made in Japan. Padahal, lift impor seharga Rp 1,7 miliar itu baru dipasang pada 1 Januari 2004 dan sudah macet meskipun masih dalam waktu garansinya.


Juga belakangan diketahui bahwa urusan Monas itu amatlah reseh juga ribet. Sebab instansi yang terkait cukup banyak kait-kaitannya. Misalnya soal penerangan ditangani Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, juga Dinas Perhubungan pun ikut main dalam urusan perambuan. Tramtib pun dari Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, belum lagi ada Unit Pelaksana Teknis di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI.


Sedangkan anggaran pengelolaannya sekitar Rp 15 miliar setahun. Entah gimana kisahnya cara pembagian duit dinas itu, pasti bakalan seru karena tiap grup pekerja itu mau bagiannya masing-masing. Sementara soal perawatan, ya jangan bahas kiri atau kanan deh, buktinya saja PLN pun sampe-sampe nyetopin aliran setrum ke Monas, hingga lift macet dan mati lampu.


SAMBIL melihat gairah turis yang mejeng-mejeng dan rebutan bikin foto di sekitaran Menara Eiffel Paris, pikiran pun melayang membayangkan kalau kejadian mirip-mirip macam itu terjadi juga di sekitaran Tugu Monumen Nasional di Jakarta. Meski Monas kalah jauh tingginya, juga kalah tua dan seru umur dan kisah sejarah pendiriannya, Monas masih bisa dibanggakan kok.


Sebab Jakarta yang suka dibilang seram kejam dan muram seharusnya diimbangi dengan pengelolaan dan perawatan Monas dan taman sekitarannya. Sebab ruang terbuka hijau yang rada besar terletak di kawasan istimewa strategisnya itu, mungkin salah satu dari sedikit areal kebanggaan DKI Jakarta. Juga Monas yang mirip tegakan tugu obelis marmer plus obor emas murninya, ya okelah daripada kagak ada monumen kebanggaan lainnya lagi.


Tapi sayang dua kali sayang, Monas yang setiap tahun segala ongkosnya dibayarin Pemprov DKI sampai belasan miliar rupiah kok hampir kagak berasa sentuhan perawatannya. Selain kotor dan kusam, juga lift-nya yang buatan China sudah terbukti pernah macet dan bikin serem. Juga pada bulan lalu diributkan karena kontrak kerja Pemprov DKI dengan perusahaan pemborong sistem pencahayaan Monas katanya belum oke-oke.


Sedangkan rencananya dalam menyemarakkan HUT Ke-478 DKI Jakarta bulan Juni ini sekujur tubuh Monas bakalan dimandikan cahaya warna-warni lagi, ditambah sorotan gambar juga tayangan foto gubernur-gubernur yang pernah megang Jakarta. Ditambah sinar laser serta mandi sorotan cahaya lampunya, pokoknya Monas pada HUT-nya mendatang bakal seronok menor.


Jadi kalau orang Paris bangga dengan Menara Eiffel, orang Jakarta juga bangga dengan Monas-nya. Meski pejabat kota ini kurang becus dan bagus merawatnya, ya terima saja, karena cuma segitu kok bisanya. Makanya jangan bandingin Eiffel dengan Monas ya. Kalau Eiffel olala, Monas mah tralala