Ada begitu banyak bunga bermekaran di taman Kota Kembang, tapi hanya satu yang memikat hati Sukarno muda. Dialah Inggit Garnasih. Tidak soal ihwal rentang usia selusin antara keduanya. Tidak soal, bahwa tentang beda usia itu, Bung Karno terpaksa harus mengecilkan bilangannya saat pergi melamar Inggit.
Betapa tidak. Lamaran Bung Karno terhadap Inggit, tidak serta-merta diterima. Atas lamaran Bung Karno, ayahanda Inggit menjawab, “Wahai orang muda, kau adalah keturunan bangsawan, dan dirimu adalah seorang terpelajar. Di sini dan di mana-mana ada banyak gadis hartawan dan terpelajar yang siap untuk menjadi pasanganmu….”
Diam Sukarno.
“… Kami adalah keluarga miskin, anakku Inggit sudah janda; lagi pula tidak terpelajar, tidak sepadan untuk menjadi istrimu. Dan terus terang, saya khawatir, sebagaimana yang lazim terjadi, perjodohan yang demikian tidak akan panjang….”
Takzim Sukarno mendengarkan.
“…karena ada saja yang membuat kau malu. Ada saja yang akan membikin anakku sakit hati.”
Waktu bergulir… menguasai ruang dan waktu. Hanya diam dan sunyi untuk sementara waktu. Bung Karno harus segera menanggapi kata-kata calon mertuanya. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengeluarkan tanggapan….
“Bapak, semua itu sudah saya ketahui lebih dulu, dan saya tambahkan bahwa saya pun sudah tahu bahwa Inggit lebih tua lima tahun dari saya….” (Lihatk bagaimana Sukarno mengecil-ngecilkan bilangan selisih usianya dengan Inggit, demi lebih meyakinkan calon mertuanya)… “Apakah niat saya kurang suci, walau sudah saya tahu keadaan semua itu, kemudian saya pikirkan dan akhirnya melamar dengan sadar?”
Ayah Inggit diam, mendengarkan si muda bicara.
“Bapak, karena itu saya datang melamar dengan harapan Bapak mempertimbangkannya.”
Ayah Inggit menatap tajam ke arah mata Sukarno ketika bicara. Dari sana ia menangkap ketulusan niat Sukarno. Dari sorot matanya Sukarno memancarkan keseriusannya. Maka… luluhlah hati calon mertua, dan akhirnya lamaran pun diterima.
Sementara kepada bapak-ibunya, Sukarno pun sudah menyampaikan niatnya melamar Inggit. Dan Soekeni, ayahanda Bung Karno dalam surat jawabannya menuliskan, “Ayah dan ibumu tidak merasa keberatan. Urusan itu terserah pada dirimu sendiri. Kami cuma mengharapkan, pengalamanmu yang sudah-sudah akan menjadi pelajaran bagimu.”
Betapa tidak. Lamaran Bung Karno terhadap Inggit, tidak serta-merta diterima. Atas lamaran Bung Karno, ayahanda Inggit menjawab, “Wahai orang muda, kau adalah keturunan bangsawan, dan dirimu adalah seorang terpelajar. Di sini dan di mana-mana ada banyak gadis hartawan dan terpelajar yang siap untuk menjadi pasanganmu….”
Diam Sukarno.
“… Kami adalah keluarga miskin, anakku Inggit sudah janda; lagi pula tidak terpelajar, tidak sepadan untuk menjadi istrimu. Dan terus terang, saya khawatir, sebagaimana yang lazim terjadi, perjodohan yang demikian tidak akan panjang….”
Takzim Sukarno mendengarkan.
“…karena ada saja yang membuat kau malu. Ada saja yang akan membikin anakku sakit hati.”
Waktu bergulir… menguasai ruang dan waktu. Hanya diam dan sunyi untuk sementara waktu. Bung Karno harus segera menanggapi kata-kata calon mertuanya. Ia pun menarik napas panjang sebelum mengeluarkan tanggapan….
“Bapak, semua itu sudah saya ketahui lebih dulu, dan saya tambahkan bahwa saya pun sudah tahu bahwa Inggit lebih tua lima tahun dari saya….” (Lihatk bagaimana Sukarno mengecil-ngecilkan bilangan selisih usianya dengan Inggit, demi lebih meyakinkan calon mertuanya)… “Apakah niat saya kurang suci, walau sudah saya tahu keadaan semua itu, kemudian saya pikirkan dan akhirnya melamar dengan sadar?”
Ayah Inggit diam, mendengarkan si muda bicara.
“Bapak, karena itu saya datang melamar dengan harapan Bapak mempertimbangkannya.”
Ayah Inggit menatap tajam ke arah mata Sukarno ketika bicara. Dari sana ia menangkap ketulusan niat Sukarno. Dari sorot matanya Sukarno memancarkan keseriusannya. Maka… luluhlah hati calon mertua, dan akhirnya lamaran pun diterima.
Sementara kepada bapak-ibunya, Sukarno pun sudah menyampaikan niatnya melamar Inggit. Dan Soekeni, ayahanda Bung Karno dalam surat jawabannya menuliskan, “Ayah dan ibumu tidak merasa keberatan. Urusan itu terserah pada dirimu sendiri. Kami cuma mengharapkan, pengalamanmu yang sudah-sudah akan menjadi pelajaran bagimu.”
sumber http://sekedar-tahu.blogspot.com/2010/12/kisah-bung-karno-melamar-inggit.html