Dari tahun ke tahun belakangan ini, kejadian bencana terhitung terus mendaki. Teramat sulit untuk memperhitungkan kapan tiba di puncak, lalu berharap jumlahnya makin menurun. Bahkan, seiring perubahan iklim global dan degradasi lingkungan diperkirakan pada 2011 hampir mustahil intensitas bencana makin surut. Baca Prediksi Gempa 11SR Sejarah Gempa Bulan Purnama Fenomena Alam Pelepasan Energi Kulit Bumi dan Info Lipi Prediksi Gempa Jakarta 8SR Dampak Gempa Bumi Tasik 8 SR Skala Richter Bisa Menghancurkan Jakarta.
Kondisi itu dikemukakan Direktur Pengurangan Risiko Bencana pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Ia memberi catatan pada akhir tahun 2010 mengenai bencana.
Untuk mengintip potensi bencana pada tahun 2011, Sutopo pun pertama kali langsung menyodorkan data peningkatan bencana. Sejak tahun 2002 terjadi sebanyak 190 kali meningkat menjadi 1.675 kali pada tahun 2009 atau hampir 9 kali lipat.
"Intensitas bencana tahun 2010 masih diolah. Tetap saja terjadi kenaikan jumlah bencana yang 70 persen di antaranya berupa bencana hidrometeorologi," kata Sutopo.
Bencana hidrometeorologi terkait cuaca. Cuaca menimbulkan hujan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Cuaca menimbulkan angin kencang. Cuaca menimbulkan kekeringan berkepanjangan. Semuanya berdampak merugikan.
Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumber Daya Alam pada Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Priyadi Kardono mengatakan, sumber bencana dibagi dua, yaitu akibat ulah manusia dan alam. Mengurangi risiko bencana dari keduanya sudah didukung teknologi memadai. Tetapi, publik masih banyak menunggu pengoptimalan teknologi dari setiap institusi yang ada.
"Seperti teknologi memprediksi ketebalan awan atau volume awan hujan, jika makin dioptimalkan, akan sangat membantu mitigasi bencana banjir dan tanah longsor yang selama ini paling banyak menelan korban," kata Priyadi.
Laboratorium Bencana Sutopo mengatakan, kalangan ilmuwan dunia menengarai Indonesia sebagai laboratorium bencana. Karena itu, BNPB menerbitkan buku Rencana Penanggulangan Bencana 2010-2014. Disebutkan, di Indonesia terdapat 500 gunung api yang di antaranya 129 gunung api masih aktif tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Kepulauan Maluku.
Indonesia mencatatkan dua letusan gunung terbesar di dunia, yaitu letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tahun 1815 hingga mengeluarkan 1,7 juta ton abu yang menyelimuti atmosfer cukup lama. Hingga pada tahun berikutnya, 1816, dunia masih terpengaruh selimut abu yang menahan dan memantulkan kembali sinar matahari.
Tahun 1816 kemudian dikenal sebagai "tahun yang tidak memiliki musim panas" di berbagai belahan bumi.
Letusan Gunung Krakatau menyusul pada 1883. Erupsinya diperkirakan setara 13.000 kali ledakan bom atom Hiroshima pada masa Perang Dunia II.
Sutopo menyajikan data itu untuk menegaskan kembali potensi bencana dari letusan gunung api selalu menjadi ancaman. Sutopo tidak memerinci gunung-gunung api mana saja yang siap meletus pada tahun 2011.
Priyadi mengatakan, potensi gunung api meletus dalam waktu setahun ke depan tetap berpeluang. Setidaknya, wilayahnya mencakup pantai barat Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Utara. "Prediksi letusan gunung api lebih mudah dilakukan daripada prediksi gempa," kata Priyadi.
Sutopo mengatakan, di dalam buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 dipaparkan lokasi dengan risiko bencana gempa.
Ancaman "Alam Buatan" Kewaspadaan terhadap bencana alam mau tidak mau harus tetap dijaga. Tetapi, menurut Sutopo, pentingnya masyarakat mewaspadai ancaman bencana alam "buatan". Ini mengingat degradasi lingkungan yang sudah sangat masif. Dampak buruk banyak ditimbulkan.
"Seperti bobolnya tanggul Situ Gintung. Dengan kedalaman 3 meter, telah menewaskan lebih dari 100 jiwa," kata Sutopo.
Degradasi hutan mengakibatkan sedimentasi tinggi. Seperti di Jawa, degradasi hutan menimbulkan erosi. Sebagian dampaknya mengakibatkan sedimentasi bendungan dan menimbulkan kerawanan jebolnya tanggul.
Seperti Bendungan Jatiluhur dengan ketinggian air 16 meter. Malapetaka berpotensi berlipat-lipat dibandingkan peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung.
"Malapetaka lain yang harus diperhitungkan adalah dampak bendungan itu sebagai sumber air baku terbesar untuk air minum di Jakarta. Kehidupan di Jakarta pasti lumpuh," kata Sutopo.
Menurut Sutopo, ancaman bencana alam akibat teknologi manusia seperti itu belum mendapat perhatian cukup kuat. Bendungan-bendungan besar yang ada di Jawa sekarang mengalami sedimentasi sedang sampai tinggi.
"Kerusakan hutan menjadi penyebab ancaman-ancaman bencana seperti itu," kata Sutopo.
Degradasi hutan di Jawa akibat populasi penduduk terus berkembang pesat. Sebanyak 129 juta penduduk (59 persen) sekarang tinggal di Jawa dengan kepadatan 996 orang per kilometer persegi.
Tutupan hutan hanya sebanyak 7 persen berupa hutan lindung, dan 16 persen hutan produksi. Lahan kritis di Jawa meningkat pesat. Pada 1988 mencapai 1,36 juta hektar, meningkat pada 2002 menjadi 4,17 juta hektar.
Konversi lahan pertanian untuk pemukiman juga masif. Pada tahun 2001 sudah tercatat konversi mencapai 22.200 hektar per tahun.
Mengenai neraca air, berdasarkan data Badan Perencanaan dan pembangunan Nasional (Bappenas), sebanyak 77 persen wilayah kabupaten dan kota memiliki defisit 1-8 bulan dengan 36 kabupaten/kota mengalami defisit tinggi di atas 6 bulan.
"Selain menjadi laboratorium bencana alam yang sesungguhnya, Jawa maupun wilayah pulau lainnya mengalami hal serupa yaitu rentan terhadap ancaman bencana akibat ulah manusia," kata Sutopo.
Jadi, tahun 2011 harus lebih siap dengan banyaknya ancaman
Kondisi itu dikemukakan Direktur Pengurangan Risiko Bencana pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Ia memberi catatan pada akhir tahun 2010 mengenai bencana.
Untuk mengintip potensi bencana pada tahun 2011, Sutopo pun pertama kali langsung menyodorkan data peningkatan bencana. Sejak tahun 2002 terjadi sebanyak 190 kali meningkat menjadi 1.675 kali pada tahun 2009 atau hampir 9 kali lipat.
"Intensitas bencana tahun 2010 masih diolah. Tetap saja terjadi kenaikan jumlah bencana yang 70 persen di antaranya berupa bencana hidrometeorologi," kata Sutopo.
Bencana hidrometeorologi terkait cuaca. Cuaca menimbulkan hujan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Cuaca menimbulkan angin kencang. Cuaca menimbulkan kekeringan berkepanjangan. Semuanya berdampak merugikan.
Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumber Daya Alam pada Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Priyadi Kardono mengatakan, sumber bencana dibagi dua, yaitu akibat ulah manusia dan alam. Mengurangi risiko bencana dari keduanya sudah didukung teknologi memadai. Tetapi, publik masih banyak menunggu pengoptimalan teknologi dari setiap institusi yang ada.
"Seperti teknologi memprediksi ketebalan awan atau volume awan hujan, jika makin dioptimalkan, akan sangat membantu mitigasi bencana banjir dan tanah longsor yang selama ini paling banyak menelan korban," kata Priyadi.
Laboratorium Bencana Sutopo mengatakan, kalangan ilmuwan dunia menengarai Indonesia sebagai laboratorium bencana. Karena itu, BNPB menerbitkan buku Rencana Penanggulangan Bencana 2010-2014. Disebutkan, di Indonesia terdapat 500 gunung api yang di antaranya 129 gunung api masih aktif tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Kepulauan Maluku.
Indonesia mencatatkan dua letusan gunung terbesar di dunia, yaitu letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tahun 1815 hingga mengeluarkan 1,7 juta ton abu yang menyelimuti atmosfer cukup lama. Hingga pada tahun berikutnya, 1816, dunia masih terpengaruh selimut abu yang menahan dan memantulkan kembali sinar matahari.
Tahun 1816 kemudian dikenal sebagai "tahun yang tidak memiliki musim panas" di berbagai belahan bumi.
Letusan Gunung Krakatau menyusul pada 1883. Erupsinya diperkirakan setara 13.000 kali ledakan bom atom Hiroshima pada masa Perang Dunia II.
Sutopo menyajikan data itu untuk menegaskan kembali potensi bencana dari letusan gunung api selalu menjadi ancaman. Sutopo tidak memerinci gunung-gunung api mana saja yang siap meletus pada tahun 2011.
Priyadi mengatakan, potensi gunung api meletus dalam waktu setahun ke depan tetap berpeluang. Setidaknya, wilayahnya mencakup pantai barat Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Utara. "Prediksi letusan gunung api lebih mudah dilakukan daripada prediksi gempa," kata Priyadi.
Sutopo mengatakan, di dalam buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 dipaparkan lokasi dengan risiko bencana gempa.
Ancaman "Alam Buatan" Kewaspadaan terhadap bencana alam mau tidak mau harus tetap dijaga. Tetapi, menurut Sutopo, pentingnya masyarakat mewaspadai ancaman bencana alam "buatan". Ini mengingat degradasi lingkungan yang sudah sangat masif. Dampak buruk banyak ditimbulkan.
"Seperti bobolnya tanggul Situ Gintung. Dengan kedalaman 3 meter, telah menewaskan lebih dari 100 jiwa," kata Sutopo.
Degradasi hutan mengakibatkan sedimentasi tinggi. Seperti di Jawa, degradasi hutan menimbulkan erosi. Sebagian dampaknya mengakibatkan sedimentasi bendungan dan menimbulkan kerawanan jebolnya tanggul.
Seperti Bendungan Jatiluhur dengan ketinggian air 16 meter. Malapetaka berpotensi berlipat-lipat dibandingkan peristiwa jebolnya tanggul Situ Gintung.
"Malapetaka lain yang harus diperhitungkan adalah dampak bendungan itu sebagai sumber air baku terbesar untuk air minum di Jakarta. Kehidupan di Jakarta pasti lumpuh," kata Sutopo.
Menurut Sutopo, ancaman bencana alam akibat teknologi manusia seperti itu belum mendapat perhatian cukup kuat. Bendungan-bendungan besar yang ada di Jawa sekarang mengalami sedimentasi sedang sampai tinggi.
"Kerusakan hutan menjadi penyebab ancaman-ancaman bencana seperti itu," kata Sutopo.
Degradasi hutan di Jawa akibat populasi penduduk terus berkembang pesat. Sebanyak 129 juta penduduk (59 persen) sekarang tinggal di Jawa dengan kepadatan 996 orang per kilometer persegi.
Tutupan hutan hanya sebanyak 7 persen berupa hutan lindung, dan 16 persen hutan produksi. Lahan kritis di Jawa meningkat pesat. Pada 1988 mencapai 1,36 juta hektar, meningkat pada 2002 menjadi 4,17 juta hektar.
Konversi lahan pertanian untuk pemukiman juga masif. Pada tahun 2001 sudah tercatat konversi mencapai 22.200 hektar per tahun.
Mengenai neraca air, berdasarkan data Badan Perencanaan dan pembangunan Nasional (Bappenas), sebanyak 77 persen wilayah kabupaten dan kota memiliki defisit 1-8 bulan dengan 36 kabupaten/kota mengalami defisit tinggi di atas 6 bulan.
"Selain menjadi laboratorium bencana alam yang sesungguhnya, Jawa maupun wilayah pulau lainnya mengalami hal serupa yaitu rentan terhadap ancaman bencana akibat ulah manusia," kata Sutopo.
Jadi, tahun 2011 harus lebih siap dengan banyaknya ancaman
sumber http://besteasyseo.blogspot.com/2010/12/prediksi-bencana-alam-2011-info-pnbp.html