Prestasi yang diraih anak-anak bangsa di pentas internasional memang layak diberikan apresiasi. Lihat saja, pada ajang International Environmental Project Olympiad (Inepo) ke-18 di Istambul, Turki pada 19-22 Mei 2010 lalu, Tim Indonesia yang diwakili anak-anak SMAN 5 Madiun, SMA Saint Lorensia Serpong, Tangerang dan SMA Semesta Bilingual Boarding School (BBS) Semarang berhasil menyabet 3 emas dari 11 emas yang dilombakan.
Salah satu dari 3 tim Indonesia yang meraih emas di ajang tersebut adalah tim SMAN 5 Madiun. Karya ilmiah yang diusung mereka ke Inepo adalah batu bata yang dibuat dari campuran tanah dan abu limbah pabrik gula (PG) yang diklaim tahan gempa. Batu bata itu sudah diuji di Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Hebatnya lagi, mereka yang melakukan penelitian mengenai batu bata anti gempa ini ternyata adalah para siswi di sekolah tersebut yang kesehariannya sangat jarang bergaul dengan dunia konstruksi.
Adalah Nina Milasari (kelas 11) dan Christina Kartika Bintang Dewi (kelas 10) yang meraih penghargaan tersebut.
Selain lebih kuat mampu menahan beban 91831,56 Pa, batu bata ini juga lebih ringan 2 ons dibanding batu bata biasa ukuran yang sama. Tak hanya itu, batu bata ini juga lebih murah. Dengan biaya produksi Rp Rp 160 ribu per 1.000 bata, ia lebih murah dibanding bata biasa yang biaya produksinya Rp 178 ribu per 1.000 keping.
Meski karya siswanya diakui internasional, sekolah sendiri belum punya rencana terhadap produk tersebut, termasuk mematenkan atau memproduksinya dalam skala massal.
“Itu nanti. …………. Mau dipatenkan atau diproduksi massal, itu kan butuh waktu untuk koordinasi antara sekolah, Dinas Pendidikan, Pemkot Madiun, dan pihak lain. Karena untuk memroduksi massal, pasti butuh dana, sarana, prasarana yang tidak sedikit, dan sekolah pasti tak mampu,” kata Wakil Kepala SMAN 5 Kota Madiun bidang Kesiswaan, Drs Priyo Ami Susilo.
Dibalik kesuksesan tersebut, ternyata persiapan keberangkatan tim ini dilakukan dengan susah payah. Pemkot Madiun kurang merespons karena merasa pengajuan permohonan bantuan dana ke ajang ini tidak pernah mereka terima. Sebaliknya, sekolah merasa sudah 2 kali mengirimkan proposal. Akhirnya, sekolah dan komite sekolah berusaha keras mencari dana berbagai pihak, termasuk melakukan penggalangan dana ke sejumlah kampus dan terakhir dicukupi Departemen Pendidikan Nasional.Meski demikian, Pemkot Madiun ikut bangga. “Saya ikut bangga sekali atas prestasi tingkat internasional yang diraih oleh siswa SMAN 5,” ujar Kabag Humas Pemkot Madiun, Drs Edi Hermayanto.
Adakah rasa menyesal atas sikap pemkot yang terkesan kurang mendukung keberangkatan tim ini ke Turki?
“Lho siapa yang mempersulit? Tidak ada. Ya, karena waktu itu masalah mekanismenya saja. Tapi akhirnya kan Pak Wali sudah memanggil mereka (tim karya ilmiah), dan Pak Wali sudah memberikan uang saku,” tukasnya.
Priyo menyebutkan tak ada bantuan langsung dari pemkot untuk memberangkatkan tim mereka. Dana yang mereka pakai didapat dari penggalangan dana spontanitas dari sejumlah kampus dan sekolah (Rp 35 juta), komite sekolah (Rp 10 juta), para guru SMAN 5 Kota Madiun (Rp 5 juta), dan uang saku dari Kemendiknas (Rp 6,5 juta/orang).
Kemendiknas juga menanggung tiket pesawat pulang pergi serta akomodasi selama tiga hari pelaksanaan olimpiade. Kelebihan waktu dari 3 hari pelaksanaan olimpiade ditanggung oleh tim dari uang saku hasil penggalangan dana itu.
Selain tim dari SMAN 5 Kota Madiun ini yang meraih emas di bidang fisika, dua peraih emas lain dari Indonesia adalah SMA Sant Lorensia Serpong, Tangerang dan SMA Semesta Bilingual Boarding School (BBS) Semarang (keduanya bidang kimia).
Salah satu dari 3 tim Indonesia yang meraih emas di ajang tersebut adalah tim SMAN 5 Madiun. Karya ilmiah yang diusung mereka ke Inepo adalah batu bata yang dibuat dari campuran tanah dan abu limbah pabrik gula (PG) yang diklaim tahan gempa. Batu bata itu sudah diuji di Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Hebatnya lagi, mereka yang melakukan penelitian mengenai batu bata anti gempa ini ternyata adalah para siswi di sekolah tersebut yang kesehariannya sangat jarang bergaul dengan dunia konstruksi.
Adalah Nina Milasari (kelas 11) dan Christina Kartika Bintang Dewi (kelas 10) yang meraih penghargaan tersebut.
Selain lebih kuat mampu menahan beban 91831,56 Pa, batu bata ini juga lebih ringan 2 ons dibanding batu bata biasa ukuran yang sama. Tak hanya itu, batu bata ini juga lebih murah. Dengan biaya produksi Rp Rp 160 ribu per 1.000 bata, ia lebih murah dibanding bata biasa yang biaya produksinya Rp 178 ribu per 1.000 keping.
Meski karya siswanya diakui internasional, sekolah sendiri belum punya rencana terhadap produk tersebut, termasuk mematenkan atau memproduksinya dalam skala massal.
“Itu nanti. …………. Mau dipatenkan atau diproduksi massal, itu kan butuh waktu untuk koordinasi antara sekolah, Dinas Pendidikan, Pemkot Madiun, dan pihak lain. Karena untuk memroduksi massal, pasti butuh dana, sarana, prasarana yang tidak sedikit, dan sekolah pasti tak mampu,” kata Wakil Kepala SMAN 5 Kota Madiun bidang Kesiswaan, Drs Priyo Ami Susilo.
Dibalik kesuksesan tersebut, ternyata persiapan keberangkatan tim ini dilakukan dengan susah payah. Pemkot Madiun kurang merespons karena merasa pengajuan permohonan bantuan dana ke ajang ini tidak pernah mereka terima. Sebaliknya, sekolah merasa sudah 2 kali mengirimkan proposal. Akhirnya, sekolah dan komite sekolah berusaha keras mencari dana berbagai pihak, termasuk melakukan penggalangan dana ke sejumlah kampus dan terakhir dicukupi Departemen Pendidikan Nasional.Meski demikian, Pemkot Madiun ikut bangga. “Saya ikut bangga sekali atas prestasi tingkat internasional yang diraih oleh siswa SMAN 5,” ujar Kabag Humas Pemkot Madiun, Drs Edi Hermayanto.
Adakah rasa menyesal atas sikap pemkot yang terkesan kurang mendukung keberangkatan tim ini ke Turki?
“Lho siapa yang mempersulit? Tidak ada. Ya, karena waktu itu masalah mekanismenya saja. Tapi akhirnya kan Pak Wali sudah memanggil mereka (tim karya ilmiah), dan Pak Wali sudah memberikan uang saku,” tukasnya.
Priyo menyebutkan tak ada bantuan langsung dari pemkot untuk memberangkatkan tim mereka. Dana yang mereka pakai didapat dari penggalangan dana spontanitas dari sejumlah kampus dan sekolah (Rp 35 juta), komite sekolah (Rp 10 juta), para guru SMAN 5 Kota Madiun (Rp 5 juta), dan uang saku dari Kemendiknas (Rp 6,5 juta/orang).
Kemendiknas juga menanggung tiket pesawat pulang pergi serta akomodasi selama tiga hari pelaksanaan olimpiade. Kelebihan waktu dari 3 hari pelaksanaan olimpiade ditanggung oleh tim dari uang saku hasil penggalangan dana itu.
Selain tim dari SMAN 5 Kota Madiun ini yang meraih emas di bidang fisika, dua peraih emas lain dari Indonesia adalah SMA Sant Lorensia Serpong, Tangerang dan SMA Semesta Bilingual Boarding School (BBS) Semarang (keduanya bidang kimia).