Metode anestesi memasuki babak baru. Para ahli telah berhasil menemukan cara terbaru untuk meminimalkan rasa sakit saat operasi dengan menggunakan senyawa kimia yang terdapat dalam cabai.
Capsaicin, inilah nama senyawa kimia yang memberikan rasa "hot" pada cabai. Beberapa tahun terakhir ini capsaisin tersebut begitu gencar diteliti oleh para peneliti dari Massachusetts General Hospital, AS, karena potensinya sebagai obat bius yang hanya bekerja di target spesifik, yakni sel saraf yang bertugas menerima dan mengirim rasa sakit.
Selama ini dunia kedokteran banyak memakai senyawa haloetana, asetoan, atau eter, sebagai anestesi yang efektif karena mudah menguap dan larut dengan baik di dalam lemak. Namun kekurangan senyawa tersebut adalah mematikan seluruh sel saraf, sehingga setelah operasi pasien biasanya mengalami mati rasa untuk sementara. Misalnya saja pasien cabut gigi akan merasakan otot di bagian mulutnya lumpuh dan mati rasa sementara setelah dibius.
Nah, dengan anetesi terbaru ini hal tersebut tak akan terjadi. Senyawa capsaicin hanya memblok saraf target tanpa menutup pengiriman sinyal dari saraf yang yang bertanggung jawab dalam hal pergerakan otot atau saraf perasa. Ujicoba yang dilakukan para ahli terhadap tikus percobaan membuktikan hal tersebut dan diyakini akan memberikan hasil yang sama pada manusia.
"Saraf-saraf perasa sakit pada manusia dan tikus memiliki kemiripan, sehingga strateginya hampir sama. Dalam dua atau tiga tahun lagi kami optimis bius ini bisa dicoba pada manusia, " kata Bruce Bean, salah seorang tim peneliti dari Harvard Medical School. seperti dikutip reuters health. Para ahli juga menambahkan kelak anestesi ini akan sangat berguna dalam penanganan operasi gigi, lutut, operasi persalinan, dan masih banyak lagi.
Dunia kedokteran baru mengenal obat bius pada tahun 1846 yang pertama kali diperkenalkan oleh dokter William Morton di Amerika Serikat. Ia dengan demonstratif menunjukkan cabut gigi bebas rasa sakit di depan umum, menggunakan zat kimia oksida nitrogen. Setelah itu berbagai senyawa terus dikembangkan untuk mencari anestesi yang paling efektif.
Agar anestesi bekerja, senyawa anestesi akan dibawa dalam darah ke saraf di otak kita. Akibatnya, sel-sel saraf akan berhenti menerima dan mengirim sinyal. Karena saraf tidak menerima sinyal, kita tidak merasa sakit. Demikian juga karena berhenti mengirim sinyal, maka pasien operasi akan "anteng dan pasrah" ketika dokter mulai bekerja dengan pisau bedahnya.
Capsaicin, inilah nama senyawa kimia yang memberikan rasa "hot" pada cabai. Beberapa tahun terakhir ini capsaisin tersebut begitu gencar diteliti oleh para peneliti dari Massachusetts General Hospital, AS, karena potensinya sebagai obat bius yang hanya bekerja di target spesifik, yakni sel saraf yang bertugas menerima dan mengirim rasa sakit.
Selama ini dunia kedokteran banyak memakai senyawa haloetana, asetoan, atau eter, sebagai anestesi yang efektif karena mudah menguap dan larut dengan baik di dalam lemak. Namun kekurangan senyawa tersebut adalah mematikan seluruh sel saraf, sehingga setelah operasi pasien biasanya mengalami mati rasa untuk sementara. Misalnya saja pasien cabut gigi akan merasakan otot di bagian mulutnya lumpuh dan mati rasa sementara setelah dibius.
Nah, dengan anetesi terbaru ini hal tersebut tak akan terjadi. Senyawa capsaicin hanya memblok saraf target tanpa menutup pengiriman sinyal dari saraf yang yang bertanggung jawab dalam hal pergerakan otot atau saraf perasa. Ujicoba yang dilakukan para ahli terhadap tikus percobaan membuktikan hal tersebut dan diyakini akan memberikan hasil yang sama pada manusia.
"Saraf-saraf perasa sakit pada manusia dan tikus memiliki kemiripan, sehingga strateginya hampir sama. Dalam dua atau tiga tahun lagi kami optimis bius ini bisa dicoba pada manusia, " kata Bruce Bean, salah seorang tim peneliti dari Harvard Medical School. seperti dikutip reuters health. Para ahli juga menambahkan kelak anestesi ini akan sangat berguna dalam penanganan operasi gigi, lutut, operasi persalinan, dan masih banyak lagi.
Dunia kedokteran baru mengenal obat bius pada tahun 1846 yang pertama kali diperkenalkan oleh dokter William Morton di Amerika Serikat. Ia dengan demonstratif menunjukkan cabut gigi bebas rasa sakit di depan umum, menggunakan zat kimia oksida nitrogen. Setelah itu berbagai senyawa terus dikembangkan untuk mencari anestesi yang paling efektif.
Agar anestesi bekerja, senyawa anestesi akan dibawa dalam darah ke saraf di otak kita. Akibatnya, sel-sel saraf akan berhenti menerima dan mengirim sinyal. Karena saraf tidak menerima sinyal, kita tidak merasa sakit. Demikian juga karena berhenti mengirim sinyal, maka pasien operasi akan "anteng dan pasrah" ketika dokter mulai bekerja dengan pisau bedahnya.