Pasalnya, ikan yang diketahui para
ilmuwan dunia itu sejenis Latimeria menadoensis atau Coelacanth
merupakan ikan purba yang sebenarnya sudah dianggap punah sejak 65 juta
tahun lalu.
Sekarang ikan tersebut telah dipajang
dan membuat gempar peserta dari berbagai negara yang ikut dalam ajang
World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit,
11-15 Mei 2009.
Yustinus mengatakan, ikan purba
tersebut ditangkap ketika tersangkut kail miliknya. Ketika ditarik
tampak seekor ikan dengan panjang lebih kurang satu meter dan berat 30
kg disertai bintik-bintik putih.
Ikan itu didapat pada kedalaman
sekitar 105 meter di pantai Malalayang, pukul 08.00 Wita, 19 Mei lalu.
“Meski tergolong besar, ikan tersebut tampaknya tidak melakukan
perlawanan ketika diseret hingga ke dalam perahu,” katanya, mengisahkan
penangkapan itu.
Menurut data berbagai sumber,
Coelacanth diartikan sebagai “duri yang berongga” berdasarkan kata
Yunani coelia (berongga) dan acanthos (duri). Ini merujuk pada fisiknya
yang berduri pada sirip yang berongga.
Coelacanth adalah ikan yang berasal
dari sebuah cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang.
Diperkirakan, sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun
lalu, sampai sebuah spesimen ditemukan di timur Afrika Selatan, di
perairan Sungai Chalumna tahun 1938.
Namun, sejak itu Coelacanth ditemukan
di Komoro, perairan Pulau Manado Tua di Sulawesi, Kenya, Tanzania,
Mozambik, Madagaskar, dan Taman Llaut St Lucia di Afrika Selatan.
Di Indonesia, khususnya di sekitar
Manado, spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut.
Coelacanth terdiri dari sekitar 120 spesies yang diketahui berdasarkan
penemuan fosil. Sampai saat ini, telah ada dua spesies hidup Coelacanth
yang ditemukan, yaitu Coelacanth Komoro, Latimeria chalumnae, dan
Coelacanth Sulawesi, Latimeria menadoensis.
“Hingga tahun 1938, ikan yang
berkerabat dekat dengan ikan paru-paru ini dianggap telah punah semenjak
akhir masa Cretaceous, sekitar 65 juta tahun yang silam,” kata Dekan
Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsrat Manado, Prof KWA Masengie.
Menurut dia, ada seorang iktiologis
(ahli ikan), Dr JLB Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan
menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939.
Ia memberi nama Latimeria chalumnae
kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator museum dan
lokasi penemuan ikan itu.
Pencarian lokasi tempat tinggal ikan
purba itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan
Kepulauan Komoro di Samudera Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, di
mana beberapa ratus individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut
lebih dari 150 meter.
Di luar kepulauan itu, sampai tahun
1990-an beberapa individu juga tertangkap di perairan Mozambik,
Madagaskar dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap
sebagai bagian dari populasi yang kurang lebih sama.
Pada tahun 1998, enam puluh tahun setelah ditemukannya fosil hidup Coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara.
Ikan ini sudah dikenal lama oleh para
nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya di sana oleh dunia
ilmu pengetahuan. Ikan purba itu secara fisik mirip Coelacanth Komoro,
dengan perbedaan pada warnanya.
Ketika ikan itu ditangkap dengan jenis
yang lain oleh dua nelayan di Manado, informasinya langsung
menghebohkan warga hingga terdengar oleh Gubernur Sulut SH Sarundajang.
Gubernur Sulut SH Sarundajang selaku penggagas pelaksana WOC, langsung
mencari ikan tersebut dengan mengundang sejumlah peneliti dari berbagai
akademisi, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Ikan tersebut langsung diamankan di
Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut, disimpan di cold storage agar bisa
terus bertahan hingga pelaksanaan WOC dan kepentingan ilmiah.
Manado Ocean Declaration (MOD) sudah
disepakati pada WOC yang diikuti ribuan peserta dari 80 lebih negara di
Manado, serta telah mencatat sejarah tentang penyelamatan laut dan
konservasinya. Namun, keberadaan ikan purba yang ternyata masih berada
di perairan di dunia ini tetap mencuatkan ide agar Coelacanth menjadi
maskot WOC.
Koordinator Media Center WOC Roy
Tumiwa di Manado mengatakan, ikan purba itu sudah dijadikan bahan
diskusi di tingkat pemerintah dan stakeholder kelautan.
Keberhasilan menyelenggarakan WOC
telah menjadikan Kota Manado terkenal ke berbagai penjuru dunia. Namun,
akan lebih terkenal lagi bila ikan purba coelancanth kelak dijadikan
maskot WOC.
Sumber: http://inumarulez.blogspot.com/2009/05/ikan-purba-manado-gegerkan-peneliti.html