Begitu
Jepang melaporkan warga negaranya terjangkit “swine influenza” atau
lebih dikenal dengan sebutan flu babi awal Mei lalu, Negeri Sakura itu
pun segera saja menerima gelombang penyebaran penyakit yang berasal
dari negara lain (pandemik).
“Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mencegah flu baru ini menyebar ke seluruh Jepang,” demikian tekad PM Jepang Taro Aso kepada pers usai pertemuan dengan kelompok gugus tugas penanganan flu babi di Tokyo, Senin(18/5) lalu, seperti dikutip Kyodo.
Jepang langsung mengaktifkan gugus tugas penanganan darurat sebagai upaya mengatasi meluasnya flu babi, mengingat penderita flu babi di Jepang sudah mendekati angka 200. Kasus flu babi di Negeri Sakura itu kini tercatat sebanyak 191 kasus, dengan kasus terbesar di Propinsi Hyogo (Kobe) sebanyak 111 penderita dan Osaka sebanyak 76 pederita.
Reaksi Jepang yang cepat itu tentunya setelah memahami perkembangan yang terjadi ketika virus baru itu menjangkiti warga Meksiko dan Amerika Serikat (AS). Penyebaran flu lantas menjadi isu global ketika virus tersebut menyebar ke Eropa, Australia, dan negara-negara Asia lainnya, seperti China dan Korea Selatan, dan Malaysia.
Jepang pun segera menyiagakan petugas kesehatan di seluruh bandara interasionalnya seperti Narita, Haneda dan Kansai Airport guna memeriksa kesehatan para penumpang yang pulang ke Jepang setelah bepergian dari luar negeri. Pemeriksaan dilakukan hingga ke dalam pesawat, khususnya kepada penumpang yang baru kembali dari Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada.
Begitu kedapatan gejala flu babi, petugas kesehatan langsung membawanya ke lokasi karantina di sekitar bandara untuk diisolasi hingga sehat dan dilakukan uji pemeriksaan yang menyeluruh.
Kasus flu babi (H1N1) pertama kali di Jepang ditemukan ketika dua pelajar Jepang dan seorang guru SMA Osaka pulang dari perjalannya di Kanada 9 Mei lalu. Sejak itulah flu babi meluas di kawasan Kansai (meliputi Osaka, Kobe, dan Kyoto) dan menular ke warga yang tidak bepergian ke luar negeri.
Sekitar 2.000 sekolah, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi terpaksa diliburkan di kawasan tersebut untuk sementara waktu, bahkan pemerintah setempat mengimbau warganya tinggal di rumah jika tidak memiliki kegiatan mendesak.
Upaya pemerintah Jepang menanggulangi penyebaran flu babi tidak terlepas dari pengamatan KBRI Tokyo dan Konsulat Jenderal Indonesia di Osaka. Apalagi ketika gelombang penyebaran flu yang cepat begitu terasa di kawasan Kansai. Osaka dan Kobe memang merupakan wilayah yang paling parah saat ini di Jepang.
Kesigapan Jepang
Apa yang terjadi di Jepang memang tidak terlepas dari pengamatan KBRI Tokyo dan Konsulat Jenderal Indonesia di Osaka, terlebih ketika kasus flu babi sudah mendekati angka 200 kasus. Penyebaran yang begitu cepat membuat perwakilan Indonesia merasa perlu untuk mencermati bagaimana kebijakan dan pola penanganan pemerintah Jepang.
“Satu hal yang perlu di catat adalah kesigapan Jepang dalam melakukan pencegahan. Memang ada prinsip di Jepang untuk lebih baik mencegah daripada mengobatinya,” kata Atase Pertanian dan Perikanan KBRI Tokyo Dr.Pudjiatmoko.
Hal kedua yang membuat penanganannya jelas, kata lulusan kedokteran hewan dari IPB Bogor itu, menyangkut kebijakan transparansi dalam menyikapi terjadinya penyebaran flu babi di Jepang.
Ia lantas menceritakan tentang kesigapan petugas karantina di bandara-bandara Jepang begitu warga Jepang pulang dari luar negeri. Kemudian stndarisasi prosedur pengecekan serta tersedianya fasilitas karantina yang memadai. Kesigapan tidak saja terjadi di unit pelaksana teknisnya, tetapi juga di tingkat pembuat keputusan pusat dan daerah.
Begitu terjadi wabah flu, pemerintah daerah juga menyediakan infromasi yang jelas mengenai cara-cara pencegahan dini, misalnya dengan menempelkan berbagai pengumuman di kantor-kantor kelurahan atau pun di mansion dan rumah tinggal lainnya, hingga seruan untuk mendatango fasilitas medik terdekat.
“Imbauan untuk mencuci tangan lebih sering dan mengenakan masker misalnya sudah terpampang di papan pengumuman yang biasa tersedia di setiap mansion atau rumah-rumah penduduk,” katanya.
Media massa Jepang tidak saja melaporkan perkembangan terbaru terjadinya kasus flu babi tersebut, tetapi juga menyiarkan kebijakan pemerintah lainnya serta upaya-upaya mengedukasi publik terhadap penyebaran flu babi.
Pemerintah Jepang, katanya, juga dengan cepat mengumumkan penyediaan stok obat dan vaksin yang diperlukan untuk mengatasinya. Kombinasi antara pencegahan dan pengobatan dilakukan sejalan dan cepat.
Dalam rapat penanganan flu babi yang langsung dipimpin PM Aso, pemerintah mengumumkan menyediakan stok obat sebanyak 33 juta obat tamiflu dan 2,7 juta relenza, seperti dikemukakan Menteri sekretarsi Kabinet Takeo Kawamura usai pertemuan.
Untuk mencegah kepanikan, pemerintahan Jepang juga meminta rakyatnya tetap tenang dan tidak panik, sekaligus menjelaskan arah kebijakannya dan upaya-upaya yang sudah dilakukan pemerintah, termasuk seruan kerjasama di wilayah-wilayah perbatasan (border control).
Warga Indonesia
Terkait dengan keberadaan warga Indonesia di Negeri Sakura, perwakilan RI di Jepang, baik KBRI Tokyo maupun Konsulat Jenderal di Osaka juga terdorong untuk melakukan imbauan kepada warganya guna meningkatkan kewaspadaan.
Meski belum ada warga Indonesia yang terjangkit flu babi, namun perwakilan RI merasa perlu untuk membangun kewaspadaan warganya agar betul-betul mengikuti seruan yang dilakukan pemerintah lokal Jepang.
“Saat ini memang belum warga Indonesia yang terinfeksi flu babi. Namun kami sudah meminta kelompok-kelompok masyarakat di wilayah Kansai untuk secepatnya melaporkan jika menemukan warga Indonesia yang terkena gejala tersebut,” kata Konsul Penerangan KJRI Osaka Masni Eriza.
Hal senada juga disampaikan bagi warga Indonesia yang tinggal di kawasan Kanto (Tokyo, Yokohama dan sekitarnya).
“Belum ada warga kita yang terinfeksi, namun warga diminta saling mengingatkan untuk menjaga kesehatannya sebaik mungkin,” kata Dr. Pudjiatmoko, yang juga menjadi koordinator pemantauan perkembangan flu babi bagi WNI di Jepang.
Di jalan-jalan kota di Osaka dan Kobe kini terlihat pemandangan yang umum dimana banyak warga menggunakan penutup hidung (masker). Di Tokyo sendiri belum terlihat pemandangan tersebut, namun tidak sedikit anak-anak kecil Jepang yang mengenakan masker untuk hidung berwarna putih.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hingga kini, sedikitnya tercatat 9.864 kasus flu babi di 41 negara dengan jumlah yang meninggal sebanyak 78 orang. Sejauh ini kasus di AS merupakan yang terbanyak di dunia, yaitu 5.123 kasus namun dengan jumlah korban yang minim.
Peringkat kedua terbanyak adalah Meksiko dengan 3.646 kasus, diikuti Kanada sebanyak 496 kasus. Korban yang meninggal terbanyak di Meksiko, yakni 70 orang, enam di AS, dan masing-masing satu orang meninggal di Kanada dan Costa Rica.
Di Eropa tercatat sekitar 200 kasus, dengan spanyol sebanyak 103 kasus dan Inggris 102 kasus. Sedangkan di Jepang tercatat sebanyak 191 kasus, dan menjadikannya negara nomor empat terbesar dalam jumlah kasus flu babi di dunia.
“Hasil kesigapan Jepang paling tidak bisa terlihat dengan tidak adanya korban yang meninggal. Dari sini saja kita bisa belajar bagaimana kesigapan dan pemberian informasi yang jelas amat membantu dalam menanggulangi wabah penyakit”? kata Pudjiatmoko mengakhiri wawancara.
Sumber: antara.co.id
“Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mencegah flu baru ini menyebar ke seluruh Jepang,” demikian tekad PM Jepang Taro Aso kepada pers usai pertemuan dengan kelompok gugus tugas penanganan flu babi di Tokyo, Senin(18/5) lalu, seperti dikutip Kyodo.
Jepang langsung mengaktifkan gugus tugas penanganan darurat sebagai upaya mengatasi meluasnya flu babi, mengingat penderita flu babi di Jepang sudah mendekati angka 200. Kasus flu babi di Negeri Sakura itu kini tercatat sebanyak 191 kasus, dengan kasus terbesar di Propinsi Hyogo (Kobe) sebanyak 111 penderita dan Osaka sebanyak 76 pederita.
Reaksi Jepang yang cepat itu tentunya setelah memahami perkembangan yang terjadi ketika virus baru itu menjangkiti warga Meksiko dan Amerika Serikat (AS). Penyebaran flu lantas menjadi isu global ketika virus tersebut menyebar ke Eropa, Australia, dan negara-negara Asia lainnya, seperti China dan Korea Selatan, dan Malaysia.
Jepang pun segera menyiagakan petugas kesehatan di seluruh bandara interasionalnya seperti Narita, Haneda dan Kansai Airport guna memeriksa kesehatan para penumpang yang pulang ke Jepang setelah bepergian dari luar negeri. Pemeriksaan dilakukan hingga ke dalam pesawat, khususnya kepada penumpang yang baru kembali dari Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada.
Begitu kedapatan gejala flu babi, petugas kesehatan langsung membawanya ke lokasi karantina di sekitar bandara untuk diisolasi hingga sehat dan dilakukan uji pemeriksaan yang menyeluruh.
Kasus flu babi (H1N1) pertama kali di Jepang ditemukan ketika dua pelajar Jepang dan seorang guru SMA Osaka pulang dari perjalannya di Kanada 9 Mei lalu. Sejak itulah flu babi meluas di kawasan Kansai (meliputi Osaka, Kobe, dan Kyoto) dan menular ke warga yang tidak bepergian ke luar negeri.
Sekitar 2.000 sekolah, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi terpaksa diliburkan di kawasan tersebut untuk sementara waktu, bahkan pemerintah setempat mengimbau warganya tinggal di rumah jika tidak memiliki kegiatan mendesak.
Upaya pemerintah Jepang menanggulangi penyebaran flu babi tidak terlepas dari pengamatan KBRI Tokyo dan Konsulat Jenderal Indonesia di Osaka. Apalagi ketika gelombang penyebaran flu yang cepat begitu terasa di kawasan Kansai. Osaka dan Kobe memang merupakan wilayah yang paling parah saat ini di Jepang.
Kesigapan Jepang
Apa yang terjadi di Jepang memang tidak terlepas dari pengamatan KBRI Tokyo dan Konsulat Jenderal Indonesia di Osaka, terlebih ketika kasus flu babi sudah mendekati angka 200 kasus. Penyebaran yang begitu cepat membuat perwakilan Indonesia merasa perlu untuk mencermati bagaimana kebijakan dan pola penanganan pemerintah Jepang.
“Satu hal yang perlu di catat adalah kesigapan Jepang dalam melakukan pencegahan. Memang ada prinsip di Jepang untuk lebih baik mencegah daripada mengobatinya,” kata Atase Pertanian dan Perikanan KBRI Tokyo Dr.Pudjiatmoko.
Hal kedua yang membuat penanganannya jelas, kata lulusan kedokteran hewan dari IPB Bogor itu, menyangkut kebijakan transparansi dalam menyikapi terjadinya penyebaran flu babi di Jepang.
Ia lantas menceritakan tentang kesigapan petugas karantina di bandara-bandara Jepang begitu warga Jepang pulang dari luar negeri. Kemudian stndarisasi prosedur pengecekan serta tersedianya fasilitas karantina yang memadai. Kesigapan tidak saja terjadi di unit pelaksana teknisnya, tetapi juga di tingkat pembuat keputusan pusat dan daerah.
Begitu terjadi wabah flu, pemerintah daerah juga menyediakan infromasi yang jelas mengenai cara-cara pencegahan dini, misalnya dengan menempelkan berbagai pengumuman di kantor-kantor kelurahan atau pun di mansion dan rumah tinggal lainnya, hingga seruan untuk mendatango fasilitas medik terdekat.
“Imbauan untuk mencuci tangan lebih sering dan mengenakan masker misalnya sudah terpampang di papan pengumuman yang biasa tersedia di setiap mansion atau rumah-rumah penduduk,” katanya.
Media massa Jepang tidak saja melaporkan perkembangan terbaru terjadinya kasus flu babi tersebut, tetapi juga menyiarkan kebijakan pemerintah lainnya serta upaya-upaya mengedukasi publik terhadap penyebaran flu babi.
Pemerintah Jepang, katanya, juga dengan cepat mengumumkan penyediaan stok obat dan vaksin yang diperlukan untuk mengatasinya. Kombinasi antara pencegahan dan pengobatan dilakukan sejalan dan cepat.
Dalam rapat penanganan flu babi yang langsung dipimpin PM Aso, pemerintah mengumumkan menyediakan stok obat sebanyak 33 juta obat tamiflu dan 2,7 juta relenza, seperti dikemukakan Menteri sekretarsi Kabinet Takeo Kawamura usai pertemuan.
Untuk mencegah kepanikan, pemerintahan Jepang juga meminta rakyatnya tetap tenang dan tidak panik, sekaligus menjelaskan arah kebijakannya dan upaya-upaya yang sudah dilakukan pemerintah, termasuk seruan kerjasama di wilayah-wilayah perbatasan (border control).
Warga Indonesia
Terkait dengan keberadaan warga Indonesia di Negeri Sakura, perwakilan RI di Jepang, baik KBRI Tokyo maupun Konsulat Jenderal di Osaka juga terdorong untuk melakukan imbauan kepada warganya guna meningkatkan kewaspadaan.
Meski belum ada warga Indonesia yang terjangkit flu babi, namun perwakilan RI merasa perlu untuk membangun kewaspadaan warganya agar betul-betul mengikuti seruan yang dilakukan pemerintah lokal Jepang.
“Saat ini memang belum warga Indonesia yang terinfeksi flu babi. Namun kami sudah meminta kelompok-kelompok masyarakat di wilayah Kansai untuk secepatnya melaporkan jika menemukan warga Indonesia yang terkena gejala tersebut,” kata Konsul Penerangan KJRI Osaka Masni Eriza.
Hal senada juga disampaikan bagi warga Indonesia yang tinggal di kawasan Kanto (Tokyo, Yokohama dan sekitarnya).
“Belum ada warga kita yang terinfeksi, namun warga diminta saling mengingatkan untuk menjaga kesehatannya sebaik mungkin,” kata Dr. Pudjiatmoko, yang juga menjadi koordinator pemantauan perkembangan flu babi bagi WNI di Jepang.
Di jalan-jalan kota di Osaka dan Kobe kini terlihat pemandangan yang umum dimana banyak warga menggunakan penutup hidung (masker). Di Tokyo sendiri belum terlihat pemandangan tersebut, namun tidak sedikit anak-anak kecil Jepang yang mengenakan masker untuk hidung berwarna putih.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hingga kini, sedikitnya tercatat 9.864 kasus flu babi di 41 negara dengan jumlah yang meninggal sebanyak 78 orang. Sejauh ini kasus di AS merupakan yang terbanyak di dunia, yaitu 5.123 kasus namun dengan jumlah korban yang minim.
Peringkat kedua terbanyak adalah Meksiko dengan 3.646 kasus, diikuti Kanada sebanyak 496 kasus. Korban yang meninggal terbanyak di Meksiko, yakni 70 orang, enam di AS, dan masing-masing satu orang meninggal di Kanada dan Costa Rica.
Di Eropa tercatat sekitar 200 kasus, dengan spanyol sebanyak 103 kasus dan Inggris 102 kasus. Sedangkan di Jepang tercatat sebanyak 191 kasus, dan menjadikannya negara nomor empat terbesar dalam jumlah kasus flu babi di dunia.
“Hasil kesigapan Jepang paling tidak bisa terlihat dengan tidak adanya korban yang meninggal. Dari sini saja kita bisa belajar bagaimana kesigapan dan pemberian informasi yang jelas amat membantu dalam menanggulangi wabah penyakit”? kata Pudjiatmoko mengakhiri wawancara.
Sumber: antara.co.id