Dua
nelayan asal Malalayang, Manado, Yustinus Lahama dan Delfie, tidak
menyangka ikan hasil tangkapannya pada 19 Mei 2007 di perairan Teluk
Manado, cukup menggegerkan dunia.
Pasalnya,
ikan yang diketahui para ilmuwan dunia itu, sejenis “Latimeria
menadoensis” atau Coelacanth, merupakan ikan purba yang sebenarnya
sudah dianggap punah sejak 65 juta tahun lalu.
Sekarang
ikan tersebut telah dipajang dan membuat gempar peserta dari berbagai
negara yang ikut dalam ajang World Ocean Conference (WOC) dan Coral
Triangle Initiative (CTI) Summit, 11-15 Mei 2009.
Yustinus
mengatakan, ikan purba tersebut ditangkap ketika tersangkut kail
miliknya. Ketika ditarik nampak seekor ikan dengan panjang kurang lebih
satu meter dan berat berkisar 30 Kg disertai bintik-bintik putih.
Ikan
itu didapat pada kedalaman laut sekitar 105 meter, di pantai
Malalayang, pada pukul 08.00 Wita, 19 Mei lalu. “Meski tergolong besar,
namun ikan tersebut tampaknya tidak melakukan perlawanan lagi ketika
diseret hingga ke dalam perahu,” katanya, mengisahkan penangkapan itu.
Menurut
data berbagai sumber, Coelacanth diartikan sebagai “duri yang
berongga” berdasarkan kata Yunani coelia, “berongga” dan acanthos,
“duri”. Ini merujuk pada fisiknya yang berduri pada sirip yang berongga.
Coelacanth
adalah ikan yang berasal dari sebuah cabang evolusi tertua yang masih
hidup dari ikan berahang. Diperkirakan sudah punah sejak akhir masa
Cretaceous 65 juta tahun lalu, sampai sebuah spesimen ditemukan di
Timur Afrika Selatan, di perairan Sungai Chalumna tahun 1938.
Namun,
sejak itu Coelacanth ditemukan di Komoro, perairan Pulau Manado Tua di
Sulawesi, negara Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar dan Taman Llaut
St Lucia di Afrika Selatan.
Di
Indonesia, khususnya di sekitar Manado, spesies ini oleh masyarakat
lokal dinamai ikan raja laut. Coelacanth terdiri dari sekitar 120
spesies yang diketahui berdasarkan penemuan fosil. Sampai saat ini,
telah ada dua spesies hidup Coelacanth yang ditemukan yaitu Coelacanth
Komoro, Latimeria chalumnae dan Coelacanth Sulawesi, Latimeria
menadoensis.
“Hingga tahun 1938, ikan
yang berkerabat dekat dengan ikan paru-paru ini dianggap telah punah
semenjak akhir masa Cretaceous, sekitar 65 juta tahun yang silam,” kata
Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsrat Manado, Prof KWA
Masengie.
Menurut dia, ada seorang
iktiologis (ahli ikan), Dr JLB Smith kemudian mendeskripsi ikan
tersebut dan menerbitkan artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939.
Ia
memberi nama Latimeria chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut,
untuk mengenang sang kurator museum dan lokasi penemuan ikan itu.
Pencarian
lokasi tempat tinggal ikan purba itu selama belasan tahun berikutnya
kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera Hindia
sebelah barat sebagai habitatnya, di mana beberapa ratus individu
diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 meter.
Di
luar kepulauan itu, sampai tahun 1990-an beberapa individu juga
tertangkap di perairan Mozambik, Madagaskar dan juga Afrika Selatan.
Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang kurang
lebih sama.
Pada tahun 1998, enam puluh
tahun setelah ditemukannya fosil hidup Coelacanth Komoro, seekor ikan
raja laut tertangkap jaring nelayan di perairan Pulau Manado Tua,
Sulawesi Utara.
Ikan ini sudah dikenal
lama oleh para nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya di
sana oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan purba itu secara fisik mirip
Coelacanth Komoro, dengan perbedaan pada warnanya.
Ketika
ikan itu ditangkap dengan jenis yang lain oleh dua nelayan di Manado,
informasinya langsung menghebohkan warga hingga ke telinga Gubernur
Sulut, SH Sarundajang. Gubernur Sulut SH Sarundajang selaku penggagas
pelaksana WOC, langsung mencari ikan tersebut dengan mengundang
sejumlah peneliti dari berbagai akademisi, baik dalam negeri maupun
luar negeri.
Ikan tersebut langsung
diamankan di Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut, disimpan di “cold
storage”, agar bisa terus bertahan hingga pelaksanaan WOC dan
kepentingan ilmiah.
Manado Ocean
Declaration (MOD) sudah disepakati pada WOC yang diikuti ribuan peserta
dari 80 lebih negara di Manado, serta telah mencatat sejarah tentang
penyelamatan laut dan konservasinya.
Namun,
keberadaan ikan purba yang ternyata masih berada di perairan di dunia
ini tetap mencuatkan ide, agar Coelacanth jadi maskot WOC.
Koordinator
Media Center WOC Roy Tumiwa di Manado, mengatakan, ikan purba itu
sudah dijadikan bahan diskusi di tingkat pemerintah dan stakeholder
kelautan.
Keberhasilan menyelenggarakan
WOC telah menjadikan Kota Manado terkenal ke berbagai penjuru dunia.
Namun, akan lebih terkenal lagi, bila ikan purba coelancanth kelak
dijadikan maskot WOC.
Sumber: Kompas.com